Audit Lisensi & Frekuensi 3G Onno W. Purbo Rakyat Indonesia Biasa Saya prihatin dengan kekisruhan yang ditimbulkan oleh Cyber Access (CAC) yang menjual abab tanggal 9 Maret 2005 ?Hutchison Telecom to Acquire 60% Stake In Cyber Access, Indonesia? (http://www.tmcnet.com). Komisi V DPR jelas melarang CAC menjual saham (KOMPAS, 8 Maret 2005). Bu Asmiaty Rasyid dan Komisi V meminta mencabut lisensi dan tender sampai Pak Sofyan Jalil pun pusing (Koran Tempo, 24 Maret 2005), dan menyatakan Cyber Access milik Charoen Phokpand bertindak sebagai "license broker? (http://www.jeffooi.com, 14 Maret 2005). Suasana memanas, akhirnya Pak Sofyan Jalil menyatakan pemerintah akan mengaudit lisensi Frekuensi; sialnya di tambah pernyataan Incumbant untuk memperoleh alokasi frekuensi 3G (KOMPAS, 21 Maret 2005) bahkan Incumbant mengklaim penurunan nilai saham karenanya (KOMPAS, 18 Maret 2005). Bagaimana nilai saham tidak turun, kalau quality of servis belum baik? Silahkan baca arsip milis asosiasi-warnet@yahoogroups.com tentang kinerja Incumbant. Semoga pernyataan pemerintah (c.q. Menkominfo) tidak ditunggangi, tidak di manfaatkan dan tidak membodohi rakyat awam Indonesia. Pemerintah tampaknya mencampur adukan antara teknologi komunikasi (3G) dengan alokasi frekuensi. Dua (2) hal berbeda cukup jauh, kebetulan di satukan dalam lisensi 3G yang diberikan ke CAC. Pemerintah perlu mempertajam, apakah ingin mengaudit lisensi penyelenggaraan operasi-nya? Atau mengaudit frekuensi operasi-nya? Incumbent jelas & eksplisit meminta frekuensinya. Mari kita lihat satu per satu. Teknologi 3G ada beberapa (http://www.mrvfone.com.au/vfone/3g/), yaitu, GSM (WCDMA) di 2GHz; CDMA 1X EV-DO (1.9GHz) dan yang akan datang SCDMA (2GHz). Perlu dicatat bahwa teknologi yang digunakan di Flexi, StarOne dan Mobile-8/Fren, yaitu, CDMA 1X, di kenal sebagai teknologi 2.75G yang tidak jauh dari 3G & tinggal mengaktifkan beberapa fitur-nya menjadi 3G. Dalam kalimat sederhana, sebetulnya Flexi, StarOne dan Mobile-8/Fren ?3G ready?. Memang mereka tidak memperoleh lisensi penyelenggara 3G, tapi teknologi-nya ?3G ready?. Telkomsel-pun berusaha mengembangkan GSM ke 3G (Bisnis Indonesia, 3 Nov 2004). Jika pemerintah ingin bertindak fair dan adil dalam mengaudit lisensi penyelenggara 3G, tidak bisa hanya mengaudit CAC, XL dan Lippo Telecom. Pemerintah harus mengaudit operator selular maupun fixed wireless access (FWA) yang non-3G tapi ?3G ready?. Isu ke dua adalah frekuensi. Mari kita lihat apa alokasi frekuensi 3G? Di Amerika Serikat FCC (http://www.fcc.gov/3G/) sedang berusaha menetapkan alokasi frekuensi 3G pada band 1710-1770MHz dan 2110-2170MHz (2x60MHz). Dunia selain Amerika Serikat (http://www.3g-generation.com/3g_spectrum.htm) menggunakan alokasi yang agak berbeda, yaitu, 1890-2025MHz yang overlap dengan teknologi UMTS TDD & DECT; 2110-2200MHz yang overlap dengan teknologi UMTS FDD; 2500-2690MHz yang hari ini overlap dengan IndoVision. Pertanyaannya, apakah benar hanya tiga (3) operator saja di Indonesia yang menggunakan alokasi frekuensi ?3G?? Jelas pada pita frekuensi 1885-2025MHz (lebar 140MHz), 2110-2200MHz (lebar 90MHz) dan 2500-2690MHz (lebar 190MHz); tidak mungkin hanya di gunakan oleh hanya tiga (3) operator saja, seperti yang di klaim beberapa pakar & pemerintah. Jelas & eksplisit di Web TelkomFlexi (http://www.telkomflexi.com) maupun di forum diskusi TelkomFlexi (http://www.plasa.com/phpBB2/woltlab/wbboard/main.php) bahwa TelkomFlexi menggunakan frekuensi 1.9GHz yang merupakan frekuensi 3G sejak 2002! Tentunya operator lain juga menggunakan dan eksplisit menyebutnya di Web mereka seperti http://www.mystarone.com/support/terminal_type.php. Dari kumpulan informasi yang di peroleh dari berbagai sumber yang lumayan akurat, dapat di simpulkan bahwa (1) saat ini paling tidak ada delapan (8) operator yang memperoleh tambahan frekuensi 3G secara langsung; bahkan (2) Telkom & Indosat sudah memperoleh frekuensi 3G sejak tahun 2002. Gambaran umum kondisi lisensi / frekuensi 3G di Indonesia adalah sebagai berikut - ada beberapa operator yang sudah beroperasi dan memperoleh tambahan frekuensi 3G setelah beroperasi, yaitu, Telkom (FWA TelkomFlexi CDMA 1X 1.9GHz) dan Indosat (FWA StarOne CDMA 1X 1.9GHz) di tahun 2002. NTS di 2GHz tahun 2004. Tahun 2000, TelkomSel, XL dan Indosat memperoleh 1.8GHz. Tahun 2004, XL memperoleh tambahan untuk TDD di 2GHz. Tapi ada pula perusahaan yang sudah mendapatkan lisensi & frekuensi 3G tapi belum beroperasi, yaitu, WIN (1.9GHz), Primasel (1.9GHz) dan termasuk CAC (2GHz).Beberapa catatan tambahan; WIN memperoleh lisensi komunikasi data (bukan selular) & frekuensi 3G di tahun 2001. Primasel memperoleh lisensi selular & frekuensi 3G di tahun 2004. Sedang CAC memperoleh lisensi selular & frekuensi 3G di tahun 2003. Beberapa saran implementasi auditing, jika pemerintah (Kominfo) ingin mengaudit. Audit semua penerima frekuensi 3G secara adil dan transparan, termasuk Telkom, Telkomsel, Indosat, CyberAccess, NTS, XL, Primasel dan WIN.. Tidak fair jika audit hanya pada salah satu operator saja. Audit harus melibatkan seluruh operator yang sudah beroperasi di atas. Sialnya, ini kemungkinan memberikan dampak negatif pada industri telekomunikasi secara keseluruhan. Kalau tujuan pemerintah hanya ingin tahu mengapa non operator / pengusaha makanan ayam & agribisnis seperti Charoen Phokpand (http://www.cpthailand.com) dapat mendapatkan lisensi 3G; karena operator seluler justru dilarang turut tender 3G. Oleh karenanya sebaiknya audit fokus pada CyberAccess (CAC) saja, supaya tidak meresahkan operator dan investor yang memang sudah memenuhi kewajibannya sesuai ketentuan perundangan yang berlaku. Pemerintah sebaiknya jangan mengaudit karena ingin unjuk gigi, mencari sensasi atau popularitas, yang pada akhirnya detrimental bagi industri Telekomunikasi. Jangan pula melakukan audit karena lobby-lobby perorangan / instansi tertentu. Pemerintah (c.q. Menkominfo) harus bersikap tegas agar desas-desus tidak berkembang lebih jauh. Apakah hanya CAC atau semua operator akan diaudit, harus secara tegas dan eksplisit dikatakan. Tentu cerita akan lebih menarik kalau dilakukan audit juga pada DITJEN POSTEL. Termasuk audit mekanisme modern licensing dari DITJEN POSTEL yang memungkinkan CAC memperoleh ijin penyelenggaraan padahal tidak terdengar operasinya. Keberadaan lisensi operasional CAC yang menyebabkan kemudahan dalam menjual abab. Semoga Allah beserta anda (Menkominfo). Amin.