From hn@melsa.net.id Fri Jan 25 02:16:53 2002 Return-Path: Delivered-To: onno@localhost.yc1dav.ampr.org Received: from localhost (localhost.localdomain [127.0.0.1]) by gate.yc1dav.ampr.org (Postfix) with ESMTP id 7144173DC for ; Fri, 25 Jan 2002 02:31:07 +0700 (JAVT) Delivered-To: onno@pop-qmail.indo.net.id Received: from pop.indo.net.id [202.159.32.71] by localhost with POP3 (fetchmail-5.7.4) for onno@localhost (single-drop); Fri, 25 Jan 2002 02:31:07 +0700 (JAVT) Received: (qmail 7088 invoked from network); 25 Jan 2002 02:17:24 +0700 Received: from sv-1.indo.net.id (202.159.33.41) by pop-qmail.indo.net.id with SMTP; 25 Jan 2002 02:17:24 +0700 Received: (qmail 14197 invoked by alias); 25 Jan 2002 02:17:24 +0700 Delivered-To: onno+indo.net.id@sv-1.indo.net.id Received: (qmail 14192 invoked by uid 505); 25 Jan 2002 02:17:24 +0700 Received: from sentto-2640246-10512-1011899819-onno=indo.net.id@returns.groups.yahoo.com by virusfree.indo.net.id with qmail-scanner-1.03 (uvscan: v4.1.40/v4182. . Clean. Processed in 0.176241 secs); 24 Jan 2002 19:17:24 -0000 Received: from mailgate.indo.net.id (202.159.33.87) by sv-1.indo.net.id with SMTP; 25 Jan 2002 02:17:24 +0700 Received: (qmail 11527 invoked by alias); 24 Jan 2002 19:17:23 -0000 Delivered-To: onno@indo.net.id Received: (qmail 11523 invoked from network); 24 Jan 2002 19:17:23 -0000 Received: from unknown (HELO mx-2.indo.net.id) (202.159.32.92) by mailgate.indo.net.id with SMTP; 24 Jan 2002 19:17:23 -0000 Received: (qmail 3161 invoked from network); 25 Jan 2002 02:17:22 +0700 Received: from n26.groups.yahoo.com (216.115.96.76) by mx-4.indo.net.id with SMTP; 25 Jan 2002 02:17:22 +0700 X-eGroups-Return: sentto-2640246-10512-1011899819-onno=indo.net.id@returns.groups.yahoo.com Received: from [216.115.97.162] by n26.groups.yahoo.com with NNFMP; 24 Jan 2002 19:05:16 -0000 X-Sender: hn@melsa.net.id X-Apparently-To: genetika@yahoogroups.com Received: (EGP: mail-8_0_1_3); 24 Jan 2002 19:16:59 -0000 Received: (qmail 7618 invoked from network); 24 Jan 2002 19:16:58 -0000 Received: from unknown (216.115.97.171) by m8.grp.snv.yahoo.com with QMQP; 24 Jan 2002 19:16:58 -0000 Received: from unknown (HELO n15.groups.yahoo.com) (216.115.96.65) by mta3.grp.snv.yahoo.com with SMTP; 24 Jan 2002 19:16:58 -0000 Received: from [216.115.96.38] by n15.groups.yahoo.com with NNFMP; 24 Jan 2002 19:16:22 -0000 To: genetika@yahoogroups.com Message-ID: User-Agent: eGroups-EW/0.82 X-Mailer: Yahoo Groups Message Poster From: "hn_62818200501" X-Originating-IP: 202.153.130.97 X-Yahoo-Profile: hn_62818200501 MIME-Version: 1.0 Mailing-List: list genetika@yahoogroups.com; contact genetika-owner@yahoogroups.com Delivered-To: mailing list genetika@yahoogroups.com Precedence: bulk List-Unsubscribe: Date: Thu, 24 Jan 2002 19:16:53 -0000 Subject: [GENETIK@] KOMPAS : VoIP Alternatif Telekomunikasi Murah untuk Rakyat Reply-To: genetika@yahoogroups.com Content-Type: text/plain; charset=US-ASCII Content-Transfer-Encoding: 7bit Status: R X-Status: N VoIP Alternatif Telekomunikasi Murah untuk Rakyat oleh : Sammy Pangerapan BOLEH jadi lima tahun silam teknologi Voice over Internet Protocol (VoIP) dipandang sebelah mata. Tetapi, siapa sangka masalah VoIP ini muncul kepermukaan sejak tahun lalu. Kemunculan VoIP pun ramai menjadi perdebatan, apalagi ditambah dengan sikap pemerintah yang cenderung diskriminatif terhadap operator VoIP. Beberapa operator jasa layanan VoIP "diberangus" karena dianggap ilegal alias tidak memiliki izin penyelenggaraan. Tentu saja hal ini membuat berang para operator VoIP yang kebetulan ketiban sial dicap sebagai koruptor. Kiranya sebutan "koruptor" terlalu berlebihan dan jelas sangat menyinggung hati nurani sebagai anak bangsa yang hendak memberikan sumbangsih pada bangsa. Bagaimana tidak, keberadaan VoIP jelas memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk menikmati telepon yang relatif lebih murah dibandingkan dengan telepon biasa. Bayangkan! Seorang pelanggan telepon nantinya hanya cukup membayar Rp 150.000-Rp 200.000 untuk menikmati layanan lokal, SLJJ, dan SLI sampai puas. Berarti pengeluaran satu bulan sebuah keluarga bisa ditekan lebih dari 20 persen. Kemudian bagi dunia usaha, teknologi VoIP memberikan pilihan menarik sebagai media berkomunikasi dengan mitra bisnis di dalam dan luar negeri. Munculnya pasar bebas pada tahun 2003 mendatang, teknologi VoIP mampu menyediakan kecepatan dan ketepatan dunia usaha. Jika pengusaha masih mengandalkan saluran tradisional bisa dipastikan selain akan tertinggal, si pengusaha harus menyediakan biaya yang lebih besar. Paling tidak ada dua hal yang bisa dicatat dengan memanfaatkan VoIP sebagai alternatif telekomunikasi murah bagi masyarakat. Pertama, masyarakat memiliki kesempatan untuk menikmati telepon murah. Kedua, memberikan peluang bagi pelaku usaha untuk berinvestasi di sektor telekomunikasi khususnya VoIP. Dua hal di atas adalah kondisi ideal, jika iklim berusaha di sektor telekomunikasi tidak seperti saat ini. Untuk itu pemerintah dibutuhkan dalam upaya menciptakan iklim usaha yang kondusif. Penetapan tarif dasar jaringan lokal menjadi penting mengingat Telkom masih akan memegang hak eksklusif sampai dengan tahun 2010 untuk sektor ini. Keberpihakkan pemerintah kepada pemain baru adalah suatu kewajiban tanpa harus membuat kebijakan yang merugikan incumbent. Mengingat VoIP adalah satu bisnis yang relatif baru, maka perlu dibuat satu peraturan yang bisa mengakomodasi kepentingan dari incumbent dan para new player tentunya. Disamping itu perlu diciptakan satu kondisi yang fair di antara berbagai pihak, yaitu dibukanya kesempatan berusaha pada pasar yang sama. Peluang pengusaha lokal Dengan adanya keterbukaan berusaha tentu saja akan menyegarkan perekonomian. Bayangkan, jika kode akses VoIP yang bisa dimanfaatkan untuk mengembangkan 380 kabupaten yang ada di Indonesia. Di era otonomi daerah, penyelenggaraan VoIP yang terbuka akan memberikan kesempatan atau peluang bagi pengusaha lokal untuk terjun ke bisnis VoIP. Paling tidak ada tiga hal yang bisa dicapai dalam penyelenggaraan VoIP sebagai alternatif telekomunikasi murah bagi masyarakat. Pertama, dengan adanya VoIP berarti masyarakat setempat tidak akan kesulitan untuk mendapatkan sambungan telepon untuk berkomunikasi dengan sanak saudara di belahan dunia mana pun. Kedua, otomatis tercipta pemerataan penyebaran penggunaan jaringan Internet Indonesia dengan investasi yang lebih murah jika dibandingkan dengan membangun jaringan baru. Ketiga, membuka peluang usaha dan pasar baru bagi para pelaku bisnis di sektor telekomunikasi. Satu kekhawatiran yang tidak beralasan, jika kehadiran pengusaha VoIP lokal selain Telkom akan mengambil pangsa pasar. Tidak demikian halnya! Menurut hemat penulis justru pasar yang tercipta semakin kompetitif, pasar akan terbuka dan masyarakat akan memilih operator mana yang memang pantas untuk menyelenggarakan VoIP. Tersebarnya VoIP di berbagai daerah akan memberdayakan pengusaha kelas kecil menengah (Small Medium Enterprise). Pasar yang terbuka tentu saja merupakan kesempatan kepada mereka untuk mengembangkan usahanya, tanpa harus memikirkan biaya telekomunikasi yang sangat mahal dibanding dengan menggunakan telepon biasa. Terbukanya kesempatan berusaha dan terciptanya pasar yang baru, maka otomatis akan menyerap lebih banyak tenaga kerja. Bayangkan, saat ini berapa jumlah pengangguran yang ada di Indonesia. Bagaimana jika pembangunan dan pengembangan teknologi informasi hanya terpusat di Jakarta. Bisa dibayangkan, berapa jumlah pengangguran yang akan ditanggung jika sumber daya manusia hanya terpusat di Jakarta. Berarti akan banyak para pekerja dibidang teknologi informasi akan menganggur. Satu hal yang paling penting dalam diskursus otonomi daerah, dengan adanya satu peluang bisnis baru maka dengan sendirinya akan terjadi sharing revenue. Tidak zamannya lagi keuntungan yang diperoleh dari suatu usaha hanya terpusat seperti di zaman Orde Baru. Misalnya, terdapat operator di Jakarta hendak membuka bisnis VoIP di Malang. Tinggal diatur saja bagaimana mekanisme pembagian keuntungan yang akan diperoleh sesuai dengan kesepakatan dan kontribusi masing-masing pihak. Sehingga tidaklah beralasan, munculnya pemain baru akan merebut pasar yang sudah ada. Adanya pemain baru justru memberikan berbagai manfaat sekaligus dalam memberikan kesempatan masyarakat untuk mengembangkan diri dan lingkungan sosialnya. Biarkan berkompetisi Kehadiran pemain baru dalam bisnis telekomunikasi tidak akan berkembang, jika iklim kompetisi yang dibangun tidak kondusif. Keberadaan Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi jelas mengamanatkan liberalisasi di sektor telekomunikasi. Namun, mengapa incumbent justru menganggap bahwa operator VoIP adalah benalu yang mengambil keuntungan dari bisnis yang tidak dilakukan. Bisnis VoIP memang satu bisnis telekomunikasi yang tidak perlu membangun jaringan. Satu pandangan yang salah jika banyaknya operator VoIP adalah sebab dari semrawutnya industri VoIP. Padahal, kacaunya industri telekomunikasi di Indonesia disebabkan oleh tidak adanya sistem baku dalam biaya interkoneksi yang harus dibayarkan kepada PT Telkom. Bayangkan saja, PT Telkom menjual harga E-1 berbeda-beda antara daerah yang satu dengan lainnya. Untuk daerah seperti Jakarta, misalnya, satu sambungan E-1 harganya bisa mencapai 10.000 dollar AS atau sekitar Rp 100 juta. Tetapi, ada juga yang menjual dengan harga Rp 50 juta, bahkan ada yang hanya membayar Rp 1.000.000 plus biaya telepon lokal. Saat ini tidak ada satu konsep yang baku. Ini yang menyebabkan persaingan menjadi tidak sehat. Seharusnya konsep tersebut menjadi patokan atau standar dalam menerapkan besaran biaya untuk memperoleh sambungan. Pada praktiknya, pelaku usaha melakukan beberapa penyesuaian yang pada akhirnya akan membebani masyarakat, jika harga sambungan E-1 yang ditawarkan lebih mahal dibanding dengan revenue yang diperoleh. Itu sebabnya diperlukan keseragaman dalam penentuan harga sambungan E-1 yang dijual secara unbundling. Kebijakan penetapan tarif unbundling adalah persyaratan mutlak dalam menentukan tarif jaringan lokal. Dengan kebijakan ini akan memaksa pengusaha VoIP untuk lebih kreatif dalam menjalankan bisnisnya. Hal ini juga akan membuat pelaku bisnis VoIP yang nota bene masih didominasi oleh para pengusaha pusat, untuk berkolaborasi dengan pemain daerah. Di sinilah pemerataan akan diciptakan. Karena demikian, kita juga tidak dapat membatasi PT Telkom untuk berkreatif dan berinovatif dalam menjual produknya secara bundling selama ini ditawarkan sebagai alternatif pilihan. Jika pasar terbuka maka akan banyak pelaku usaha yang bisa berbisnis. Biarlah mereka berkompetisi secara alamiah. Siapa yang bisa memberikan pelayanan lebih bagus adalah mereka yang memberikan pelayanan yang murah dengan service memuaskan. Hal tersebut merupakan satu konsekuensi menyongsong pasar bebas tahun 2003. Nantinya pemerintah hanya memberikan panduan bagaimana prasyarat bagi operator baru untuk terjun ke dalam bisnis telekomunikasi. Kecuali kita sepakat menginginkan kembali pasar yang tersentralisir. Kuncinya dari semua ini adalah harus dihapusnya unbalance tarif dan juga pada mekanisme. Dengan demikian tidak ada lagi pendapat yang mengatakan VoIP sebagai benalu bagi PT Telkom yang pada akhirnya akan merusak industri telekomunikasi. Aturan kondusif Menciptakan iklim usaha yang sehat sudah pasti memerlukan aturan yang kondusif bagi semua pihak. Berbagai pihak di sini termasuk, incumbent sebagai pemain lama, pemain baru, dan pemerintah yang berada di tengah-tengah sebagai regulator. Jangan sampai aturan yang dibuat justru menghambat industri telekomunikasi itu sendiri. Misalnya Keputusan Dirjen 199/Postel/2001 yang sudah dianulir dengan Kepdirjen 199A/ Postel/2001, tentang Ketentuan Teknis Penyelenggara Internet Teleponi untuk Keperluan Publik. Salah satu persoalan dalam keputusan tersebut adalah adanya keharusan untuk menyetor Rp 10 milyar. Padahal ketentuan wajib setor ini sangat tidak berdasar. Apalagi jika alasan yang digunakan adalah untuk mencegah penyelenggara melarikan dana yang telah ditarik dari masyarakat. Jika demikian halnya, mengapa harus dengan keputusan Dirjen? Kita semua tahu bahwa tindakan tersebut adalah kriminal. Dan ini sudah masuk wilayahnya Kepolisian dan Kejaksaan. Persoalan kedua adalah bagaimana menyiapkan kebijakan transisi mengingat VoIP adalah suatu industri yang tadinya unregulated menjadi industri yang diregulasi. Masalah lain yang perlu juga diperhatikan adalah menyangkut lisensi-lisensi yang sudah dikeluarkan yang bisa diinterpertasikan secara mudah untuk bisa menyelenggarakan VoIP. Sebagai penutup, penulis menganggap perlu dicari sebuah solusi agar industri bisa berkembang sebagai bagian kehidupan dari masyarakat. Tidak saatnya saling tunjuk dan mencari pembenaran di sana-sini. Mari kita duduk sebagai bangsa yang beradab untuk membicarakan bagaimana industri ini diarahkan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat. Satu catatan penting. Buka seluas-luasnya bagi pelaku usaha telekomunikasi khususnya VoIP. Dengan begitu, masyarakat dapat menikmati satu layanan telepon yang relatif lebih murah jika dibandingkan dengan telepon biasa. Catatan lainnya, dalam penyelenggaraan bisnis VoIP harus melibatkan semua pihak terkait terutama untuk menciptakan satu iklim kondusif bagi dunia usaha telekomunikasi itu sendiri. * Sammy Pangerapan Pelaku usaha VoIP dan pengurus APJII. ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor ---------------------~--> Get your FREE credit report with a FREE CreditCheck Monitoring Service trial http://us.click.yahoo.com/ACHqaB/bQ8CAA/ySSFAA/9rHolB/TM ---------------------------------------------------------------------~-> To unsubscribe from this group, send an email to: GENETIKA-unsubscribe@egroups.com Your use of Yahoo! Groups is subject to http://docs.yahoo.com/info/terms/